Yang Tersisa dari Malam Dingin di Forsyth Barr

“The best footballers in the world are coming to Dunedin. Most Aucklanders don’t even make it this far south.”

Gegap gempita Piala Dunia memenuhi halaman-halaman koran lokal sejak Juni.

Berita tentang persiapan Dunedin menghelat enam laga Piala Dunia Wanita 2023 dilaporkan. Tiga lapangan bola diperbaiki, dan kemudian ditutup untuk umum, karena dijadikan tempat latihan timnas Swiss, yang bermukim di Dunedin selama gelaran, dan tim-tim ‘tamu’ yang dijadwalkan tanding di Stadion Forsyth Barr, stadion beratap permanen—mungkin untuk menolong iklim Dunedin yang agak kurang ajar bagi manusia-manusia yang datang dari tempat hangat.

Cerita tentang Football Ferns—timnas sepakbola wanita Selandia Baru—juga dibahas cukup intens. Mereka sudah lima kali ikut Piala Dunia—pertama kali pada 1991 di Tiongkok—tapi belum pernah sekali pun menang. Main di rumah sendiri, Football Ferns dipercaya bisa memutus tabu itu, ditambah doa yang agak lebih panjang berjudul ‘lolos ke 16 besar’. Benar saja, di laga pembuka, Selandia Baru mengalahkan Norwegia—dan Ada Hegerberg—dengan skor tipis 1-0. Saat peluit akhir dibunyikan, pemain cadangan dan ofisial Football Ferns langsung lari kegirangan memasuki lapangan dan berpelukan dengan teman-temannya. Seperti sudah juara.

Koran gratis yang masuk ke kotak-kotak pos warga tiap Kamis, The Star, sejak awal Juni selalu dibubuhi seperempat halaman iklan tentang Piala Dunia Wanita 2023. Sepertinya untuk memantik antusiasme warga agar datang ke stadion dan memeriahkan pesta bola. Dunedin mengusung tema ‘The best in the world, at the bottom of the world’ dalam hajatan besar ini. Iklan-iklan itu tak menjual apa-apa, kecuali ‘yuk nonton sepakbola’ di negeri yang kadung memeluk rugby sebagai agama. Kutipan di awal tulisan yang membawa-bawa orang Auckland adalah salah satu tajuknya. Ada juga yang bertuliskan ‘The world’s stage. Turns out it’s in Dunedin’.

***

Dari jendela besar di lantai 8 Otago Business School, Stadion Forsyth Barr terlihat dengan gagah. Logo Piala Dunia sudah muncul di sana, ketika saya kembali ke kampus, awal Juni lalu. Stadion itu adalah salah satu hal yang mencuri perhatian saya ketika pertama kali menyambangi Department of Tourism, tempat saya studi doktoral (yang entah ada gunanya atau tidak). Departemen kami ada di lantai 8 dan 9. Saat berdiri di sana, pada suatu siang musim dingin yang lain, Juli 2022, saya pertama-tama bersyukur karena bisa melihat laut—Semenanjung Otago—dari sana. Lalu, saya lebih bahagia lagi karena bisa melihat stadion dari jendela besar yang memisahkan ruangan kantor dan udara jahanam musim dingin di luar. Jarak stadion dengan OBS kira-kira 700 meter.

Jarak itu yang kemarin saya tempuh dengan berjalan kaki, bersama beberapa kawan, untuk menonton pertandingan Piala Dunia pertama di Dunedin: Filipina vs Swiss. Di bus, dalam perjalanan dari rumah ke kampus, saya lihat beberapa suporter Filipina berjalan kaki ke stadion, dengan atribut lengkap untuk mendukung Filipinas. Saat kami keluar kampus, bus tingkat dua (double-decker) lewat di depan muka kami, membawa calon penonton bola dari Octagon, pusat kota. Bus itu terjebak kemacetan kecil yang tak biasanya terjadi di jalanan kota kecil kami.

Gegap gempita Piala Dunia kian terasa dalam 700 meter itu. Gairah itu muncul lagi di dada saya; gairah yang sama saya rasakan tiap kali hendak beranjak menuju pertandingan bola. Rasanya jadi kangen Gelora Bung Karno saat timnas tanding, tempat dan situasi di mana gairah manusia Indonesia paling murni bisa ditemukan. Dalam jarak 700 meter itu saya menjadi anak kecil lagi. Di sekitar saya, orang-orang juga tampak gembira di sore musim dingin yang cerah—meski tetap dingin—itu. Beberapa memakai baju bola (dan tentu saja rugby), ada juga yang dandan aneh-aneh. Tapi kebanyakan ya biasa-biasa saja. Namanya juga Dunedin.

***

Kami mengantre untuk masuk stadion. Tentu saja antrean di Forsyth Barr tak seheboh antrean di GBK, atau di Amsterdam Arena jelang De Klassieker, atau di Allianz Stadium versus Inter dan Torino. Sepakbola di sini cuma hura-hura, semacam perayaan. Orang-orang masuk ke stadion dengan riang. Tak ada muka-muka serius sambil harap-harap cemas. Tak ada raut wajah yang deg-degan. Ketakutan akan hasil akhir tak ada di sini. Tak ada orang yang berdoa sebelum laga dimulai—seperti seorang bapak di Do Dragao, musim semi 2017. Sepak bola bukan rugby, jadi untuk apa terlalu serius. Lagi pula ini Piala Dunia, sebuah pesta, tak berdampak apa-apa bagi hidup kita yang kadung ringsek dihajar harga-harga kebutuhan pokok yang terus melonjak di supermarket.

Saya duduk di tribun belakang gawang, deretan kursi A, alias paling depan. Di depan saya tak ada kursi lagi, kecuali kursi steward, yang duduk membelakangi lapangan, dan selama 90 menit awas mengantisipasi kemunculan streaker, ciri khas lain Forsyth Barr, yaitu penonton yang masuk ke dalam lapangan sambil telanjang bulat—biasanya muncul di pertandingan rugby. Di depan saya adalah pagar pembatas, kira-kira setinggi pinggang. Di sebelah saya, dua orang pria dengan pakaian yang kurang pas untuk musim dingin—mereka menggigil sepanjang 90 menit.

Tapi setidaknya mereka terhibur. Keduanya mengobrol sepanjang laga, mengomentari yang ada di lapangan dan luar lapangan, dan yang ada di layar besar di hadapan kami. Kebanyakan obrolan mereka tidak penting-penting amat, dan sebagian lain seksis. Seperti ketika kamera menyorot kapten Swiss, Lia Wälti, di lorong sebelum masuk lapangan. “Ow oh, kinda hot,” kata sebelah saya. Di momen lain, saat Alisha Lehmann siap-siap masuk lapangan sebagai pemain pengganti, komentar lain yang tak kalah nyeleneh muncul. Tak perlu saya kutip di sini.

Di lapangan, pertandingan berlangsung khidmat di babak pertama. Jual beli serangan terjadi. Filipina agresif di beberapa momen. Mereka sempat mencetak gol, tapi dianulir VAR. Swiss menutup babak pertama lewat gol penalti—setelah tinjauan ulang VAR oleh wasit. Di babak kedua, pertandingan lebih khidmat lagi—alias bikin ngantuk. Swiss tampak lebih percaya diri dan bisa menggandakan skor di tengah babak. Filipina baru agresif di 10 menit akhir. Tadinya saya mau keluar stadion pada menit 85, menghindari antrean keluar, tapi duduk manis sampai menit 90 karena berharap Filipina bisa mencetak satu gol dan membuat laga hidup kembali.

Gara-gara 5 menit itulah saya jadi ketinggalan bus nomor 8. Mau tak mau mesti jalan kaki. Di jalanan sepanjang George Street, gegap gempita Piala Dunia tak terasa. Sepi. Seperti malam-malam Dunedin pada umumnya. Kemeriahan itu dilokalisir di Forsyth Barr saja. Entah apakah Filipina mencetak gol di waktu tambahan. Saya tak terlalu ambil pusing. Juga ratusan ribu orang lain di sini. Lagi pula ini cuma sepakbola, dan Piala Dunia, tak berpengaruh apa-apa di sini.

Dua minggu lagi, All Blacks akan bertanding melawan Wallabies Australia di Dunedin. Di situlah kemeriahan yang sebenarnya akan terjadi.

(Opoho, 22 Juli 2023)

Tak Ada Sepakbola Hari Ini

Setelah nyawa-nyawa yang melayang di Kanjuruhan tadi malam, masih perlukah kita berdebat soal sepakbola? Dan haruskah sepakbola tetap dimainkan? Bagaimana caranya kita—nalar kita—memahami 127 nyawa yang hilang di Kanjuruhan? Apakah nalar cukup untuk memahami itu semua, tragedi itu?

Kita merayakan sepakbola dengan angka. Angka memberi kita alasan untuk menangis atau tertawa. Statistik telah lama menyandera cara kita memahami sepakbola. Angka tembakan ke gawang, jumlah penonton, capaian piala, dan omong kosong kuantitatif lain membelai jiwa sepakbola kita yang malang. Bagaimana dengan angka 127 tadi malam?

Setelah Kanjuruhan, harusnya kita menggelar hiatus panjang untuk sepakbola. Agar kita memahami apa yang paling esensial, dan apa yang bukan. Agar kita mengerti sepakbola justru dengan mengecilkannya, meletakannya di hadapan hidup yang agung. Agar kita memahami kemanusiaan sebagai sesuatu yang tak bisa ditawar, betapa pun fanatik dan piciknya gairah yang kita tanam di dalam stadion dan depan televisi.

Tak ada sepak bola hari ini. Juga besok. Baiknya kita menelan duka lara ini dengan mengambil jarak yang lebar dengan sepakbola. Baiknya kita menabukan sepakbola untuk sementara waktu, sebagai bagian dari upaya untuk memahami 127 nyawa yang pergi di Kanjuruhan dan sebagai rasa hormat untuk 127 nyawa itu.

Puasa. Hiatus. Boikot. Tabu/pemali. Atau apa pun nama yang anda sukai.

Tak perlu ada sepakbola hari ini. Pita hitam tak cukup. Juga pidato-pidato pejabat di televisi. Investigasi polisi takkan mengembalikan jiwa-jiwa saudara kita yang telah pergi itu, yang tersatukan oleh imajinasi kultural bernama sepakbola. Tak perlu ada alasan dan analisa untuk segenap kegilaan ini.

Matikan televisi, stop datang ke stadion, lupakan berita-berita sepakbola. Jarak itu, pada waktunya kelak, mungkin akan memberi kita kesadaran yang ugahari. Memberi kita perenungan yang mendalam tentang kenapa kita terus menggilai sepakbola, betapa pun rakusnya, busuknya, dan biadabnya wajah sepakbola kita.

Air Mata Messi

Melihat Lionel Messi menangis di New Jersey adalah elegi tersendiri. Final keempat yang gagal dimenangkannya bersama timnas Argentina. Setelahnya adalah kejutan. Ia, kemungkinan besar masih dipengaruhi rasa frustrasi pasca-pertandingan, memutuskan pensiun dari tim nasional.

Keputusan itu jelas mengejutkan mengingat Messi baru berumur 29 tahun dan tentu saja masih dibutuhkan Albiceleste. Namun, patah hati adalah perkara lain. Saya membayangkan menjadi Messi: memanggul beban negara, disorot seluruh dunia, dan gagal untuk kali keempat. Empat! Frustrasi. Saya tak tahu apakah Messi mulai berhenti berdoa dan pergi ke gereja setelah ini.

Tak bisa disalahkan jika banyak orang meragukan keputusan pensiun Messi. Saya salah satunya. Saya menerka ucapannya hanyalah rasa frustrasi sesaat. Ia dilanda kekalutan tak terpermanai setelah Biglia gagal dan mengucapkan kata-kata yang mungkin akan disesalinya dua atau tiga hari kemudian. Namun, bagaimana jika ia benar-benar mundur dari tim nasional?

Jika Messi bersetia pada kata-katanya, toh kita harusnya bisa memahami. Messi, pada akhirnya, memang bukan alien. Kita telah melihat sisi manusiawi Messi di New Jersey. El Messiah ternyata bisa menangis, sama seperti Yesus yang meraung di atas kayu salib: Eli, Eli, lama sabakhtani? (Tuhanku, Tuhanku, kenapa Kau meninggalkan aku?)

Dan satu hal yang perlu diingat, memutuskan berhenti bukanlah hal yang mudah. Terlebih dalam dunia yang menuntut kita untuk terus berlari, berhenti mungkin ialah keputusan tersulit. Sedangkan, mengetahui kapan harus berhenti adalah kemampuan yang tak semua orang bisa memiliknya.

Memahami itu kita jadi menemukan paradoks dalam air mata yang menggenang di pipi Messi. Di satu sisi kita memandang betapa lemahnya dia. Di sisi lain kita mendapati betapa kuat dan tegarnya dia. Selemah-lemahnya Messi, ia masih bisa memancarakan kekuatan.

Kita bisa belajar banyak darinya. Jika pada suatu waktu kita gagal untuk entah-keberapa-kalinya, berhenti mencoba mungkin saja adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Pada satu titik, kita harus bisa memahami bahwa that is not belong to me. Sama seperti Messi yang sadar bahwa timnas Argentina bukan untuknya. Setidaknya kita dan Messi pernah mencoba.

Hal ini mungkin sulit dilakukan, sekali lagi karena kultur yang menuntut kita terus berusaha. Oh, buanglah buku-buku motivasi sialan itu! We cannot have everything in life.

Besok atau lusa, Messi mungkin akan bangun pagi dengan pikiran yang lebih jernih. Mungkin ia telah sanggup mencerna semua yang terjadi. Mungkin ia akan berubah pikiran atau mungkin tidak. Mungkin dua tahun lagi dia akan pergi ke Rusia dan menonton Argentina memenangkan Piala Dunia dari tribun. Mungkin ia akan senang, mungkin pula kecewa.

Tapi setidaknya ia bisa pulang ke Barcelona, ke rumahnya, dan menyadari ia memiliki segalanya.

(28 Juni 2016, setelah final Copa America 2016, sempat terbit di Farpost Journal)

Calvin Stengs dkk.

12 November 2016. Musim sudah begitu dingin di Wageningen. Saya menyiapkan sarung tangan, kupluk, dan perlengkapan lain untuk melawan udara yang dingin. Hari itu temperatur tak pernah lebih dari 5 derajat. Dari kamar di Haarweg, saya bersepeda melewati jalan-jalan kecil nan sepi, melalui banyak peternakan, sebelum tiba di Veenendaal setelah lebih dari 12 km mengayuh.

Itu akhir pekan. Dan artinya sepak bola. Saya ke Veenendaal untuk itu. GVVV Veenendaal berhadapan dengan Jong AZ Alkmaar dalam lanjutan Tweede Divisie. Di tribun, saya tak sendirian kedinginan. Bapak, ibu, pemuda, pemudi, dan anak-anak, semua tampak menggigil. Tangan selalu ada di kantung jaket. Syal rapat melindungi leher dan kupluk menutup telinga. Semua siap.

Di lapangan, situasi berjalan payah bagi GVVV. Sempat unggul lebih dulu, tuan rumah menyerah 1-4 dari Jong AZ. Tak ada yang terlalu spesial di lapangan hari itu, kecuali satu pemain yang menarik perhatian saya sejak pertama kali bola berada di kakinya.

Namanya Calvin Stengs, dengan nomor 34 di punggungnya. Larinya kencang di sisi kanan penyerangan Jong AZ. Akselerasinya merepotkan pertahanan GVVV. Satu gol ia sumbang di laga itu, dan gol terakhir tak lepas dari key pass-nya. Tapi, terlepas dari semua catatan itu, pergerakannya yang membuat saya terpikat sejak awal. “Suatu hari dia akan jadi pemain besar,” pikir saya dalam hati.

12 Mei 2019. Saya menonton streaming laga antara AZ Alkmaar dan PSV Eindhoven. Selain Ajax vs Utrecht, laga itu akan menentukan juara Eredivisie tahun ini. Di lapangan, pemain nomor 7 tampak familiar. Lalu, komentator menyebut namanya: Stengs.

Seketika saya mengingat siang yang dingin di Veenendaal itu. Stengs telah beranjak dari Jong AZ ke tim senior. Pelan-pelan ia memantapkan posisinya di AZ. Ia naik tingkat ke tim utama sejak musim lalu, namun baru pada musim 2018-19 namanya sering menghiasi susunan pemain AZ. Terhitung 20 kali ia tampil di Eredivisie, 19 di antaranya sebagai starter. Tiga gol dihasilkannya. Mungkin, beberapa tahun lagi, tebakan saya di Veenendaal bukan sekadar bualan belaka.

DSC_0685

Stengs-Stengs lain

Saya memang punya kebiasaan seperti itu: menonton seorang pemain untuk kali pertama, langsung terpikat, lalu menebak ia akan jadi pemain besar. Stengs bukan yang pertama. Beberapa di antaranya jadi kenyataan, tapi ada pula yang malah mandek kariernya. Namanya juga manusia, cuma bisa menebak-nebak.

Fredy Guarin, misalnya. Saya lupa kapan dan pada laga apa pertama kali menyaksikan Guarin lewat tv. Saat itu ia masih di FC Porto. Di lapangan tengah, ia berlari tanpa lelah dari satu kotak ke kotak lain, dengan atau tanpa bola. Saat itu ia belum dikenal banyak orang, tapi saya yakin ia ditakdirkan untuk klub yang lebih besar. Inter Milan akhirnya merekrutnya, tapi rasanya cukup sampai di situ ‘puncak’ karier Guarin.

Terkait Inter, ada satu pemain lagi: Mathias Ezequiel Schelotto. Awal 2013 silam, saya sempat menulis tentang Schelotto dan membandingkan dia dengan Mauro Camoranesi, legenda Juventus. Secara fisik, keduanya mirip: awak yang kurus dan rambut gondrong. Keduanya juga sama dalam hal posisi (gelandang kanan), negara kelahiran (Argentina), dan tim nasional (Italia – karena punya dua kewarganegaraan).  Schelotto mulai melesat bersama Cesena, tapi di Atalanta-lah saya “mengendus” bakatnya. Ia lalu dipanggil ke timnas Italia (meski hanya sempat bermain selama empat menit di laga persahabatan). Saya pikir ia akan jadi Camoranesi jilid dua. Tapi, setelah pindah ke Inter, kariernya justru perlahan redup.

Cukup sudah yang sendu-sendu. Dua nama terakhir harusnya (akan) lebih benderang. Pertama, Willian kala masih berkostum Shakhtar Donetsk. Skuat Shakhtar saat itu diisi Fernandinho, Douglas Costa, Henrikh Mkhitaryan, dan Luiz Adriano. Bahkan, bersama nama-nama itu, Willian tampak begitu menonjol. Liukan-liukannya meyakinkan saya bahwa dia terlalu besar untuk Shakhtar. Benar saja. Setelah transit sebentar di Anzhi, Willian berlabuh di Chelsea hingga kini dan bakatnya tak kunjung padam.

Yang terakhir, Frenkie De Jong. Saya pertama kali sadar oleh bakat besar Frenkie saat menonton langsung laga ADO Den Haag versus Ajax, September 2017. Ajax tampil biasa saja siang itu dan akhirnya pulang dengan satu poin. Tapi, pendar sinar Frenkie sudah terlihat di sana. Ia bermain di “posisi Pirlo” dan dari sana ia mengalirkan bola ke rekan-rekannya. Saya menonton bersama teman dan ia juga sadar. “Siapa pemain nomor 21, Tor?” tanyanya. Musim ini, kita semua tahu siapa Frenkie.

(Mei 2019)

Prabowo, Juventus, dan Hal-hal yang Harus Dilepaskan

“Daripada kau hanyut tersiksa batin,

mendingan kau lepas dan terbang bersama angin.”

 

Ketika bapak meninggal, saya perlu waktu lama untuk mencernanya. Saya terbiasa pelan-pelan melumat perasaan. Hingga saya bisa memahaminya dengan utuh. Proses yang mungkin panjang itu, setelah dipikir-pikir, amat berharga. Saya membiarkan waktu menuntaskan adagium itu: only time will heal.

Dalam proses itu, penggalan lirik lagu dari Steven & Coconut Treez di atas menjadi monumen personal. Suatu waktu saya tengah buang air besar dan terngiang lirik itu di telinga, lalu menyanyikannya. Setelahnya saya cebok, membersihkan sisa tai di pantat, dan melepaskan kesedihan yang lama melumat saya.

Melepaskan. Itu kuncinya. Hermann Hesse merangkumnya dengan indah: Some of us think holding on makes us strong, but sometimes it is letting go. 

***

Saya berangkat dari Way Huwi menuju Bakauheni kira-kira jam 12 siang, dan baru tiba di Depok pada 10 malam. Jalanan macet Jakarta, satu hari sebelum Pemilu, membuat saya cepat-cepat merindukan Sumatra yang lengang. Kelelahan menghantam saya, dan saya harus bangun subuh nanti untuk sepak bola.

Juventus vs Ajax, leg kedua perempat final Liga Champions. Saya bangun jam 1.45 pagi dengan lelah yang masih tersisa. Lalu saya menikmati sepak bola yang mengecewakan. Sekali lagi Juventus menjauhi piala yang paling diidam-idamkannya. Cristiano Ronaldo gagal membawa sihirnya ke Torino tahun ini. Merda!

Saya pikir Juventus bisa juara tahun ini. Selalu seperti ini setiap musimnya. Dua tahun lalu, saya mematikan tv saat Real Madrid mencetak gol keempatnya di final tahun itu. Tahun lalu, di Dijkgraaf, saya patah hati melihat Juventus ditendang keluar secara paksa oleh kontroversi kartu merah Gianlugi Buffon.

Seharusnya saya bisa lebih ikhlas menerima realita pahit yang selalu datang tiap tahunnya. Setelah final 2017, saya sebenarnya telah melepaskan ambisi itu. Saya tak lagi bercita-cita melihat Juventus memenangi Liga Champions. Tapi, saya selalu jatuh ke lubang yang sama. Melepaskan itu tak selalu mudah.

***

Saya mematikan tv sebelum menit ke-90 dan melanjutkan tidur. Di pagi hari, saya bangun dengan badan yang masih capek. Pemilu sedang berlangsung dan saya tak berminat mencoblos. Tapi, siangnya, saya mengikuti proses quick count. Oh Prabowo Subianto yang malang, kenapa kau tak berhenti saja?

Kita tahu Prabowo cuma manusia biasa. Seperti saya, dan banyak orang lain, ia seringkali kesulitan melepaskan hal-hal yang bukan takdirnya.

Saya telah belajar menyadari bahwa Juventus memang bukan ditakdirkan untuk Liga Champions. Ada hal-hal yang tak bisa kita interupsi, entah oleh wasit atau Cristiano Ronaldo. Prabowo sebaiknya juga begitu. Kita mesti sama-sama belajar untuk melepaskan. Meski, pada akhirnya, itu takkan mudah.

Musim depan, mungkin saja, saya akan kembali berharap Juventus memenangi Liga Champions. Persis seperti seseorang yang tak pernah belajar dari kekecewaan. Lima tahun lagi, Prabowo mungkin akan kembali lagi ke mimbar debat capres. Dia mungkin kalah lagi, tapi tak masalah. Namanya juga manusia.

 

A Season with Verona

Saya menikmati buku ini dengan pelan, seperti menyeduh kopi di pagi hari dan membiarkannya dingin. Bulan-bulan berlalu sejak saya mulai membuka halaman depan ‘A Season with Verona’ (selanjutnya disebut Season). Buku ini membantu saya melarikan diri dari narasi-narasi akademis saat tesis: literature review, problem statement, dan kesombongan universitas lainnya. Tak ada tesis di Season, cuma giornata-giornata yang secara kronologis menjalin nostalgi tentang musim yang jauh tertinggal disana.

Italia, pada 2000, adalah puncak sepak bola dunia. Ini narasi universalis yang kita telan mentah-mentah sebagai penikmat calcio. Saya tak ingin mendebatnya hari ini. Pada tahun itu, il sette magnifico masih eksis. Utuh. Batistuta, Totti, dan Veron. Buffon masih  begitu belia di Parma. Ronaldo, Inzaghi, Maldini. Masa-masa yang indah dengan pemain-pemain yang memberi kita sepak bola yang melenakan. Tapi, Tim Parks tak terlena oleh bintang-bintang itu, oleh tujuh klub yang kita gaungkan sebagai ‘magnificent’. Ia  cuma mau bercerita tentang Verona — tanpa Romeo & Juliet.

Singkat cerita, orang Inggris ini mengikuti Hellas Verona — kandang dan tandang — selama semusim penuh. Ia bukan orang asli Verona, tapi ia (belajar) mengimani Hellas dengan ketaatan yang membingungkan. Tapi, saya pikir logis-logis saja. Sepak bola, pada dasarnya, adalah peristiwa sosial-kultural. Di dalamnya kisah-kisah manusia berkelindan, membentuk mitos-mitos, lalu perlahan menjadi semacam agama. Italia adalah tempat yang luhur untuk memeluk agama bernama sepak bola. Tim tinggal di Verona bertahun-tahun, datang ke Bentegodi secara rutin, dan berkawan dengan orang-orang yang mencintai Hellas. Semuanya terjalin begitu wajar.

Season menarik sejak awal karena Verona bertandang di Bari pada giornata perdana. Bari ada di selatan sana, di region Puglia. Verona ada di utara, di region Veneto. Jadi, bayangkan sebuah bus berisi suporter fanatik sepak bola melintasi Italia dari utara ke selatan, dengan alkohol dan cori yang tak putus-putus ditenggak/dinyanyikan sepanjang jalan. Disitulah Tim berada, bersama Brigate Gialloblu yang dikenal sebagai kelompok suporter bola yang fasis, rasis, dan tentu saja doyan berkelahi di jalan. Tim, orang Inggris yang aksen Italianya mungkin tak sempurna, seperti sedang menjalani misi suci di bus menuju Bari.

Setelahnya puluhan giornata lain diceritakan. Kadang dengan bayangan yang begitu jelas tentang sepak bola yang dimainkan di atas lapangan. Kadang sama sekali tak ada urusan tentang lapangan. Yang menyenangkan dari Season adalah Tim memilinnya dengan narasi-narasi di luar sepak bola yang kadang-kadang tampak begitu jauh dari urusan lapangan hijau. Saya teringat, suatu kali ia membandingkan Hellas dengan Inferno-nya Dante. Atau menukas soal wasit dengan melihat struktur yang lebih besar di masyarakat Italia. Atau membahas soal rasisme dengan menyangkutpautkan nyanyian monyet ala Brigate di Bentegodi dan kasus penipuan seorang guru asal Uruguay di kota Verona.

Kesan yang saya tangkap adalah: Tim membeberkan rahasia-rahasia Italia yang cuma bisa diserap ketika seseorang tinggal cukup lama di negeri itu, tapi bukan bagian sepenuhnya dari identitas bernama ‘Italia’. Tim ada di-antara, dia ada di luar sekaligus di dalam. Posisi itu menguntungkannya sebagai pencerita, karena ia tak harus ditelan momok bernama identitas, karena ia bagian tak terpisahkan dari identitas itu. Secara metodologis, Tim memiliki kesempatan dan insting ala antropolog untuk menjadi bagian dari komunitas, tapi sanggup mengambil jarak untuk melihat komunitas itu dengan perspektif yang lebih luas dan utuh.

Di Season, ada begitu banyak bagian yang saya suka. Tiap kalimat, tiap paragraf, atau tiap giornata bisa menjadi ceritanya tersendiri. Masing-masing sanggup memaku saya di sofa dan duduk lama, membayangkan tahun-tahun yang jauh di belakang sana saat saya sedang belajar mencintai permainan ini. Musim 2000-01 adalah yang pertama buat saya. Jadi, itulah kenapa Season begitu nostalgik buat saya. Ia membuat saya mengingat alasan-alasan dan kepingan-kepingan dari perjalanan panjang mencintai sepak bola. Di balik halaman-halaman Season, saya seperti menjadi anak kecil lagi; yang duduk membaca/menonton sepak bola Italia ditulis/ditayangkan.

Oh khidmatnya.

Rusia ’18

Piala Dunia seperti memberi kita mata baru. Yang ia tawarkan, sebenarnya, adalah kesempatan untuk melihat cara bermain sepak bola yang berbeda, beragam, plural. Yang universal itu cuma rekaan. Sudah sejak lama imajinasi kita – yang dimediasi televisi, internet, dan lain-lain – dikurung cara berpikir yang Eurosentris. Premier League, La Liga, Serie A, Bundesliga, dan liga-liga Eropa Barat beserta papan klasemennya selalu muncul jelas di kanal-kanal sepak bola. Dan kita merayakan Liga Champions (Eropa) dengan meriah/gairah. Sudah sejak lama, Eropa menyetir imajinasi dan cara berpikir tentang apa itu baik/buruk, modern/primitif, maju/berkembang, pusat/periferi, dan kategori-kategori Cartesian lain.

“Ketika sepak bola dimainkan, saya bersyukur akan keajaiban ini dan peduli setan tim atau negara mana yang main.” Kira-kira begitulah kata Galeano. Orang-orang mencari Messi atau Ronaldo atau Salah. Dan kita lupa anak-anak Senegal, Jepang, Panama, Tunisia, dan ratusan pemain lain sedang menjalani mimpi masa kecilnya. Di Rusia, harusnya kita sejenak melupakan narasi-narasi besar dan universalis tentang apa itu sepak bola yang baik dan belajar merayakan pluriversitas. Ada banyak cara untuk hidup dan bermain bola (atau tidak sama sekali!).

‘Menyadari’ selalu jadi langkah pertama setiap revolusi. Tanpanya, Soeharto akan duduk selamanya di istana. Tanpanya, kita akan selalu menelan mentah-mentah omong kosong Descartes. Jadi, yang diberikan hari-hari ini – from Russia with love – adalah kans; adalah jalan yang membawa kita pada kenyataan bahwa sepak bola dimainkan dengan banyak ide. Maroko-Iran, misalnya. Tak banyak yang tertarik. Orang-orang kadung menelan manifesto bahwa yang jago cuma Jerman, Brazil, Argentina, Spanyol, Prancis. Di lapangan, terlepas apa pun hasilnya (persetan hasil!), para pemain Maroko dan Iran memberikan seluruh keringatnya; dan memberi kita ingatan yang nostalgik tentang sepak bola yang asyik.

Memang sepak bola disulap jadi ruang olah manajemen. Dulu kita punya pelatih, sekarang kita punya manajer. Pelatih mengajak kita bermain, manajer mengajak kita bekerja. Itu kata Galeano (lagi). Bermain dan bekerja mengandung semesta yang berbeda. Orang bekerja dengan skema, yang kadang diulang-ulang, dan itulah kenapa Argentina tampak membosankan dan Jerman seperti kehabisan ide untuk mencetak gol. Bermain adalah sudut pandang yang tak ada di kamus orang-orang yang kepalanya sudah diisi mantra-mantra modern tentang efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan rumor-rumus neoliberal lainnya.

Hari-hari ini, betapa menyenangkannya melihat Iran, Nigeria, Korea Selatan, Peru. Mereka yang bermain sepak bola dengan gema yang diusung Galeano: sepak bola adalah kenikmatan yang menyakitkan. Hasil akhir, tentu saja, selalu bisa mengkhianati perasaan-perasaan kekanak-kanakan yang tumpah di lapangan; atau mengecoh orang-orang yang cuma mau menonton Neymar jatuh dan Messi kebingungan (lalu mengecek skor via livescore). Di 90 menit ++ yang sering kali dilupakan, yang banyak orang tak rela menghabiskan waktu kronosnya untuk itu, sepak bola yang asing sekaligus tak asing itu sebenarnya sedang dimainkan.

 

Buffon

Ada kenyataan-kenyataan sederhana yang tak bisa kita lawan, entah oleh bom atau revolusi. Seperti perpisahan. Gianluigi Buffon telah menyelesaikan bait terakhirnya di Juventus. Tiang-tiang gawang di Corso Gaetano Scirea jadi saksi bisu tahun-tahun yang panjang sejak ia meletakkan kaki – dan tangannya – di Turin. Setelah tujuh belas tahun, Buffon telah menjadi legenda, totem, ikon, simbol; menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Bianconeri. Untuk itu semua, ia pantas menangis.

Di dunia partiarkal ini, dimana laki-laki dilarang menangis, sepakbola adalah alasan yang macho untuk menitikkan air mata. “Saya sering menangis,” kata Buffon, menjelaskan soal air matanya setelah Italia gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Baginya, menangis itu membebaskan (it frees you) dan membuat kita menjadi manusia (it makes you feel human). “Ini bukan tentang kekalahan itu sendiri, tapi sesuatu yang lebih rumit dan romantik,” ujarnya. Di pekan ini, Buffon telah menjelma kata-katanya sendiri. Ia terkesan sangat melankolis.

Di konferensi pers, Kamis lalu, Buffon seperti ingin menangis sejak awal. Toh, air mata itu tak jatuh sama sekali hingga pertanyaan jurnalis terakhir. Tapi, kita tahu matanya sembab. Seperti ada yang tertahan. Kata ‘emosional’ berkali-kali keluar dari mulutnya. Misalnya, “musim ini sangat emosional” untuk menjelaskan kegagalan timnas Italia dan kemarahannya di Santiago Bernabeu. Kita bisa bayangkan betapa wajarnya itu semua. Ia sudah empat puluh tahun, Italia gagal ke Rusia, ia pensiun dari tim nasional, ia gagal lagi di Liga Champions (satu-satunya trofi penting yang belum ia menangkan), dan hal-hal lain. Di lapangan, semua itu tak terlihat. Buffon tampak baik-baik saja. Kiper yang baik adalah ia yang (tampak) tenang.

“Saya pria yang tenang,” kata Buffon. Tenang. Kata itu juga sering keluar di konferensi pers – ‘serene’ menurut penerjemah. ‘Tenang’ itu jualah alasan kenapa ia belum memutuskan kemana ia berlabuh setelah Juventus. “Saya akan memutuskannya minggu depan. Setelah semua emosi ini reda. Saya ingin tenang saat membuat keputusan besar soal masa depan saya,” kira-kira seperti itu.  Maka, spekulasi merebak. Buffon pria yang tenang, tapi kita semua tidak – dan sibuk menebak-nebak. Saya membayangkan kontradiksi di tubuh Buffon, Sabtu ini, saat emosi dan ketenangan bercampur aduk tak karuan di dadanya.

Kita bisa melihat ada yang janggal pada senyumnya. (Hari-hari ini saya sedang banyak membaca soal Barthes dan semiotik, jadi maafkan interpretasi semiotik saya – yang mungkin berlebihan, personal, dan emosional – terhadap gerak-gerik Buffon.) Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Seperti di ruang pers, Buffon seperti menahan sesuatu di laga terakhirnya. Ia seperti seorang pecinta yang gagal menemukan kata yang tepat. Maka, ia memilih tenang – seperti yang selalu ia lakukan sebagai kiper. (Saya selalu terkesima pada posisi kiper: orang yang berada “di-luar” permainan itu, satu-satunya pemain yang boleh memakai tangan dalam permainan yang dinamai football. Buat saya, ketenangan adalah kualitas utama yang mutlak dimiliki kiper.)

Toh, akhirnya yang ditahan-tahan itu tak tertahankan. Air mata jatuh dari kedua matanya. Kita melihat bola matanya berlinang. Air mata itu telah menjadi pesan yang ingin disampaikannya sejak siang di ruang pers itu. Mengikuti kata-katanya sendiri, Buffon telah (merasa) menjadi manusia – meski curva sud membentangkan banner ‘Superman’ untuknya. Ia manusia biasa, sama seperti kita, sama seperti ribuan orang yang memadati Allianz Stadium dan mendapati kenyataan getir ini. Setelah Del Piero, Buffon adalah perpisahan paling rumit untuk kita – fans Juventus. Air mata Buffon telah menjadi alegori untuk perpisahan.

Saya tumbuh besar dengan imaji tentang Buffon. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari kegilaan ini – terhadap sepakbola dan Juventus. Saya menikmati konferensi pers Buffon, Kamis lalu, dengan bayangan-bayangan tak paralel tentang tujuh belas tahun yang berlarian di belakang. Semuanya membentuk fragmen-fragmen yang patah dan utuh secara bersamaan: calciopoli, Piala Dunia 2006, cinque maggio, Santiago Bernabeu, Trieste 2012, dan sebagainya. Buffon menjadi (salah satu) pusat dari kejadian-kejadian itu. Ia boleh jauh sendirian di dekat gawangnya, tapi ia adalah benang yang menghubungkan rentetan sejarah – setidaknya setelah millennium baru. Kini, benang itu telah putus.

Yang rumit dari sepakbola adalah emosi-emosi semacam ini. Sulit untuk menjelaskan kenapa kita harus menangis saat Del Piero pergi, atau saat Italia dicurangi Korea Selatan enam belas tahun silam. Jorge Luis Borges mengaitkan sepakbola dengan ketololan. Dan mari kita rayakan ketololan ini dengan air mata! Buffon telah menangis. Ia tak kuat lagi menahan air matanya, terlebih setelah ratusan pelukan dengan pemain, staf, dan suporter di stadion. Dari layar kaca, komentator menyebut: “Buffon adalah nama yang akan kita ceritakan ke anak cucu kita kelak.” Tentu saja. Suatu hari nanti, saya akan duduk di teras rumah dan bercerita ke anak (cucu) saya, tentang sebuah malam di Lyon saat Buffon menepis penalti itu. Buffon akan kekal, lewat cerita-cerita yang kita sampaikan; entah hari ini atau kelak. Ciao, capitano.

Totti

Totti adalah (sebuah) Roma(n). Di hari Minggu kemarin, kita membacanya sebagai epilog. Bahwa waktu adalah gerak yang tak bisa dihadang. Kita boleh menulis roman seromantik apapun, tapi ujung akan selalu ada. Di Olimpico, Totti memberi kita air mata dan kenyataan itu. Kita larut dalam melonkolia bersama kota nan abadi.

Menjelang laga terakhir Totti, seorang teman asal Venezia berseloroh ringan. “Totti pensiun berarti kita benar-benar sudah tua,” ujarnya. Kita melewati masa kecil dengan Totti di televisi. Dan ia bertahan hingga kita melewati pubertas, masa remaja, dan pelan-pelan menua. Dan ia masih memakai seragam yang sama. Totti menjelma jadi nasihat: bahwa selalu ada yang berubah, bahwa selalu ada yang tidak berubah.

Kemarin, di Hollandseweg, saya berbincang dengan seorang gadis cantik dari Roma. Tentu saja, kita bicara soal Totti. Ia berkisah betapa linimasa Facebook-nya dipenuhi kata-kata manis untuk Totti. Semua temannya, entah perempuan atau laki-laki, mengumbar puisi untuk Sang Pangeran. Totti pergi dengan sajak nan harum.

Hari ini, di sela-sela kerja kelompok yang membosankan, saya menyetel video perpisahan Totti. Seorang teman asal Sardinia menerjemahkan beberapa kata dari Totti, saat ia memberi kata-kata terakhirnya di Olimpico. Lalu air mata tetes begitu saja. Setelahnya adalah nostalgia bercampur roman bercampur melankoli.

Kemarin dan hari ini, kita telah membaca Totti dengan romantisme yang berlarut-larut. Kita mengingat yang di belakang. Nostalgia menjebak kita. Juga kisah tentang betapa tengiknya sepakbola modern, saat Totti menjadi manifestasi terakhir dari antitesisnya. Dan waktu terus bergerak. Totti telah berakhir. Dan kita juga suatu nanti.