Yang Tersisa dari Malam Dingin di Forsyth Barr

“The best footballers in the world are coming to Dunedin. Most Aucklanders don’t even make it this far south.”

Gegap gempita Piala Dunia memenuhi halaman-halaman koran lokal sejak Juni.

Berita tentang persiapan Dunedin menghelat enam laga Piala Dunia Wanita 2023 dilaporkan. Tiga lapangan bola diperbaiki, dan kemudian ditutup untuk umum, karena dijadikan tempat latihan timnas Swiss, yang bermukim di Dunedin selama gelaran, dan tim-tim ‘tamu’ yang dijadwalkan tanding di Stadion Forsyth Barr, stadion beratap permanen—mungkin untuk menolong iklim Dunedin yang agak kurang ajar bagi manusia-manusia yang datang dari tempat hangat.

Cerita tentang Football Ferns—timnas sepakbola wanita Selandia Baru—juga dibahas cukup intens. Mereka sudah lima kali ikut Piala Dunia—pertama kali pada 1991 di Tiongkok—tapi belum pernah sekali pun menang. Main di rumah sendiri, Football Ferns dipercaya bisa memutus tabu itu, ditambah doa yang agak lebih panjang berjudul ‘lolos ke 16 besar’. Benar saja, di laga pembuka, Selandia Baru mengalahkan Norwegia—dan Ada Hegerberg—dengan skor tipis 1-0. Saat peluit akhir dibunyikan, pemain cadangan dan ofisial Football Ferns langsung lari kegirangan memasuki lapangan dan berpelukan dengan teman-temannya. Seperti sudah juara.

Koran gratis yang masuk ke kotak-kotak pos warga tiap Kamis, The Star, sejak awal Juni selalu dibubuhi seperempat halaman iklan tentang Piala Dunia Wanita 2023. Sepertinya untuk memantik antusiasme warga agar datang ke stadion dan memeriahkan pesta bola. Dunedin mengusung tema ‘The best in the world, at the bottom of the world’ dalam hajatan besar ini. Iklan-iklan itu tak menjual apa-apa, kecuali ‘yuk nonton sepakbola’ di negeri yang kadung memeluk rugby sebagai agama. Kutipan di awal tulisan yang membawa-bawa orang Auckland adalah salah satu tajuknya. Ada juga yang bertuliskan ‘The world’s stage. Turns out it’s in Dunedin’.

***

Dari jendela besar di lantai 8 Otago Business School, Stadion Forsyth Barr terlihat dengan gagah. Logo Piala Dunia sudah muncul di sana, ketika saya kembali ke kampus, awal Juni lalu. Stadion itu adalah salah satu hal yang mencuri perhatian saya ketika pertama kali menyambangi Department of Tourism, tempat saya studi doktoral (yang entah ada gunanya atau tidak). Departemen kami ada di lantai 8 dan 9. Saat berdiri di sana, pada suatu siang musim dingin yang lain, Juli 2022, saya pertama-tama bersyukur karena bisa melihat laut—Semenanjung Otago—dari sana. Lalu, saya lebih bahagia lagi karena bisa melihat stadion dari jendela besar yang memisahkan ruangan kantor dan udara jahanam musim dingin di luar. Jarak stadion dengan OBS kira-kira 700 meter.

Jarak itu yang kemarin saya tempuh dengan berjalan kaki, bersama beberapa kawan, untuk menonton pertandingan Piala Dunia pertama di Dunedin: Filipina vs Swiss. Di bus, dalam perjalanan dari rumah ke kampus, saya lihat beberapa suporter Filipina berjalan kaki ke stadion, dengan atribut lengkap untuk mendukung Filipinas. Saat kami keluar kampus, bus tingkat dua (double-decker) lewat di depan muka kami, membawa calon penonton bola dari Octagon, pusat kota. Bus itu terjebak kemacetan kecil yang tak biasanya terjadi di jalanan kota kecil kami.

Gegap gempita Piala Dunia kian terasa dalam 700 meter itu. Gairah itu muncul lagi di dada saya; gairah yang sama saya rasakan tiap kali hendak beranjak menuju pertandingan bola. Rasanya jadi kangen Gelora Bung Karno saat timnas tanding, tempat dan situasi di mana gairah manusia Indonesia paling murni bisa ditemukan. Dalam jarak 700 meter itu saya menjadi anak kecil lagi. Di sekitar saya, orang-orang juga tampak gembira di sore musim dingin yang cerah—meski tetap dingin—itu. Beberapa memakai baju bola (dan tentu saja rugby), ada juga yang dandan aneh-aneh. Tapi kebanyakan ya biasa-biasa saja. Namanya juga Dunedin.

***

Kami mengantre untuk masuk stadion. Tentu saja antrean di Forsyth Barr tak seheboh antrean di GBK, atau di Amsterdam Arena jelang De Klassieker, atau di Allianz Stadium versus Inter dan Torino. Sepakbola di sini cuma hura-hura, semacam perayaan. Orang-orang masuk ke stadion dengan riang. Tak ada muka-muka serius sambil harap-harap cemas. Tak ada raut wajah yang deg-degan. Ketakutan akan hasil akhir tak ada di sini. Tak ada orang yang berdoa sebelum laga dimulai—seperti seorang bapak di Do Dragao, musim semi 2017. Sepak bola bukan rugby, jadi untuk apa terlalu serius. Lagi pula ini Piala Dunia, sebuah pesta, tak berdampak apa-apa bagi hidup kita yang kadung ringsek dihajar harga-harga kebutuhan pokok yang terus melonjak di supermarket.

Saya duduk di tribun belakang gawang, deretan kursi A, alias paling depan. Di depan saya tak ada kursi lagi, kecuali kursi steward, yang duduk membelakangi lapangan, dan selama 90 menit awas mengantisipasi kemunculan streaker, ciri khas lain Forsyth Barr, yaitu penonton yang masuk ke dalam lapangan sambil telanjang bulat—biasanya muncul di pertandingan rugby. Di depan saya adalah pagar pembatas, kira-kira setinggi pinggang. Di sebelah saya, dua orang pria dengan pakaian yang kurang pas untuk musim dingin—mereka menggigil sepanjang 90 menit.

Tapi setidaknya mereka terhibur. Keduanya mengobrol sepanjang laga, mengomentari yang ada di lapangan dan luar lapangan, dan yang ada di layar besar di hadapan kami. Kebanyakan obrolan mereka tidak penting-penting amat, dan sebagian lain seksis. Seperti ketika kamera menyorot kapten Swiss, Lia Wälti, di lorong sebelum masuk lapangan. “Ow oh, kinda hot,” kata sebelah saya. Di momen lain, saat Alisha Lehmann siap-siap masuk lapangan sebagai pemain pengganti, komentar lain yang tak kalah nyeleneh muncul. Tak perlu saya kutip di sini.

Di lapangan, pertandingan berlangsung khidmat di babak pertama. Jual beli serangan terjadi. Filipina agresif di beberapa momen. Mereka sempat mencetak gol, tapi dianulir VAR. Swiss menutup babak pertama lewat gol penalti—setelah tinjauan ulang VAR oleh wasit. Di babak kedua, pertandingan lebih khidmat lagi—alias bikin ngantuk. Swiss tampak lebih percaya diri dan bisa menggandakan skor di tengah babak. Filipina baru agresif di 10 menit akhir. Tadinya saya mau keluar stadion pada menit 85, menghindari antrean keluar, tapi duduk manis sampai menit 90 karena berharap Filipina bisa mencetak satu gol dan membuat laga hidup kembali.

Gara-gara 5 menit itulah saya jadi ketinggalan bus nomor 8. Mau tak mau mesti jalan kaki. Di jalanan sepanjang George Street, gegap gempita Piala Dunia tak terasa. Sepi. Seperti malam-malam Dunedin pada umumnya. Kemeriahan itu dilokalisir di Forsyth Barr saja. Entah apakah Filipina mencetak gol di waktu tambahan. Saya tak terlalu ambil pusing. Juga ratusan ribu orang lain di sini. Lagi pula ini cuma sepakbola, dan Piala Dunia, tak berpengaruh apa-apa di sini.

Dua minggu lagi, All Blacks akan bertanding melawan Wallabies Australia di Dunedin. Di situlah kemeriahan yang sebenarnya akan terjadi.

(Opoho, 22 Juli 2023)