Richardson shite

A winter afternoon,
Richardson.

The reception man:
Your english is burning.

My english is burning???
Lidahku terbakar entah-apa
Dan menyala ia jadi kata
Kata jadi marka
Marka jadi jeda.

Full stop.
Bengong.

Be careful,
waspadalah…
The settler colonial language
will burn your mother language….
(As always)
Puta mierda!

Orang-orang kulit putih jahanam
yang menanam bara pada kata
Dan kata-kata sebar di tubuh
Jadi bunyi, jadi sunyi di kepala
Mekar jadi api
Boom! (**burn**)

Hati-hati,
be careful…
The languages we learn to forget
The languages we will later miss so much!!

‘Sorry,
your english is burning.’
Then it is perhaps ok this way.
It is english that burns,
not my mother’s.

(Ōtepoti, 10-03-2024)

P.S.:
Dan aku mengingat Bapakku
yang bahasanya disimpannya
sampai mati.

Aku akan pulang, suatu nanti
dan belajar aiueo bahasanya
dari mula.

Nukilan dari Kisses in The Nederends

Dari Bandara Internasional Auckland, Oilei langsung dibawa ke Rumah Sakit Dun Mihaka Memorial, bangunan modern berlantai 10 yang dikelilingi tanah lapang amat luas, berjarak tak terlalu jauh dari pusat kota. Dia memerhatikan banyak sekali orang yang kelihatan sakit di sana. Dari kamar yang ditempatinya seorang diri, di lantai tujuh, dia melihat ke danau kecil di bawah, banyak sekali bebek dan burung-burung yang mengarunginya. Dia terkesima betapa rapih dan bersihnya lingkungan di sana. Berbeda jauh dari apa yang ia saksikan tiap harinya di Tipota, dan negara-negara lain di Kepulauan.

Dia membuka jendela, hembusan udara yang dingin segar membelai wajahnya. Sekali lagi, sangat berbeda dari udara panas lembab di tempat asalnya. Dia menduga, sama seperti rumah sakit yang bukan main bersihnya, lingkungan di luar juga telah disanitasi. Tampak seperti itu dari balik jendela. Negara yang amat cantik dan bersih, katanya pada diri sendiri. Tapi ada banyak sekali orang sakit di sini! Mungkin mereka juga pendatang, sama sepertinya. Atau, bisa juga negara-negara yang superbersih dan rapih punya penyakitnya sendiri. Rasanya itu lebih masuk akal, karena banyak sekali penyakit di Kepulauan berasal dari negara-negara itu. Penyakit di pantat Oilei bisa jadi salah satunya. Sialan! Seketika dia berharap ada di rumah, di antara kotoran dan udara yang lembab, dan terutama bersama Babu, yang ide-ide menjijikkanya terasa begitu melenakan.

(Diterjemahkan dari Bahasa Inggris,

Kisses in The Nederends, Epeli Hau’ofa, 1987, hal.142.)

Penyesalan

Bagaimana caranya kita mencerna penyesalan?

Perlukah kita mendidihkannya dalam kuali besar, hingga ia tandas jadi uap-uap dan menyublim, menghilang? Atau kita meletakannya tepat di atas api yang membakar-bakar, lalu ia berubah jadi asap, dan terbang, dan menjadi abu, terlupakan?

Kata-kata putus di tengah. Akal hilang arah. Dan tanda tanya kian banyak meraung, meriung, mengaum. Lalu skenario-skenario. Dan setelahnya… pertanyaan-pertanyaan baru.

Kadang-kadang kita membiarkannya mekar begitu saja, seperti rumput-rumput di musim yang panas. Tapi lama-lama ia menjadi terlalu liar, kemana-mana, memakan ini-itu, menumbuhkan hal-hal yang tak seharusnya tumbuh. Menjadi benalu, menjadi ilalang.

Aku ingin menelannya mentah-mentah saja. Dan memberiku sakit di dada, perut, selangkangan, pantat. Dan pada suatu hari aku akan ke toilet. Berak.

Dan aku akan menyiram penyesalanku dengan sekali tindis.

Owaka

Owaka is a marker. A stop for my youth dream. Done.

**

I remember an Indo edition of National Geographic Traveler I read during my undergrad years. Pages about New Zealand: full of visual seductions.

And other middle class travel magazines in the magazine section of Gramedia; one of the favorite spots back then. So many lurings and seducings there.

Sumba and Pasola. This and that. New Zealand? Empty road, green hills, and sea view from atop. It’s always like that, even before I had my first passport.

**

Winter 2022. Don asked me to join him to Palmerston, visiting his old pal. My first trip out of city in New Zealand. Suddenly, the pages of travel magazines I read 10-11 years ago came to life. The New Zealand I had always been imagining. Road, hills, seas: nothing else matters.

In our way back, Don even did a little detour to show me around. In particular I remember a lookout at/toward Karitane. No photo. Just stuck inside my head forever.

When I came back to Dunedin with Christal and Lelani, the first weekend getaway we did was to Karitane. I brought them to the same spot Don brought me a year before. With a little additional stop at a little café in that little sleepy coastal village.

**

Owaka. It was meant to be a ‘training’ for our summer trip. Just to ‘check the wave’, check the car, get knowing what we need.

Almost a coincidence.

It supposed to be Invercargill. But, an afternoon coffee at Bagelo, followed by short convo with Mba Evi, changed the plan. “Nothing in Invercargill,” she said.

Then I remember a particular tutorial session I tutored. We were talking about Catlins. My students love Catlins. One of them referred it as ‘definitely my favorite spot in New Zealand’.

So off we went to The Catlins.

Owaka, a hub. A stop. Perhaps the first foreign town I suddenly fell in love since Bari, summer 2018. There I asked myself, what else are you looking for?

**

We are still going north this summer. But we already fell in love with Owaka, and The Catlins. I could already imagine spending a week there. Just being there, going beaches, eating out at Lumberjack once or twice, playing at the playground near the school.

I stop searching because of Owaka.

(Or maybe not? Who knows?)

**

It was also in Owaka and Catlins that the lure of visuals, and consequently the naïve touristic necessity of taking pictures, became obvious.

It all came back to my mind: all those formative years of reading Kerouac, looking at travel magazines, and whatnots. All those formative little moments of getting cultured in a capitalist, consumerist culture I have been a part of: travel culture.

I never thought that photographs matter so much. And never thought that I would need to return to an old habit of loving to take photographs during travels. I thought, after the cultural mayhem Instagram caused to travel culture, I would stop that habit/love.

Owaka re-nurture that habit/love, reconnect me with the childlike (and perhaps naïve) pleasure of taking pictures, of pointing camera to a particular landscape/point/face/thing/etc.

In Owaka, things became scenic again.

[Upon return to Dunedin, I bought a camera.]

**

Scenic? What the hell is that? What is scenic (and not scenic)?

‘Scenic route’: everywhere, inside and outside the city. What is this thirst/desire for scenic? How can things become scenic (and not)? What makes things scenic (and not)?

The politics of scenic. Who decides? What matters?

Anyhow, the Dunedin-Owaka Southern Scenic Route was indeed an enjoyable route. Pleasure for eyes, and maybe soul (how cliché!). But, still, scenic? Is there any universal law of scenic? How do we become easily seduced by the scenic, the panoramic?

What makes a scene scenic and a panorama panoramic?

When do archaic sense of joy end and late capitalism begin? Blurred.

Nothing is scenic in the blur. Or maybe not.

Sasao

(Cerita sebelum tidur Lelani)

**

Di suatu desa bernama Desa Dela tinggal seorang anak laki-laki bernama Sasao.

Sasao tinggal bersama opa oma, papa mama, dan adik perempuannya yang masih bayi bernama Malole.

Rumah Sasao terletak di pinggir laut. Di laut dekat rumah Sasao, ada ombak besar yang menggulung di atas batu karang bernama Besialu.

Setiap pagi, setelah bangun tidur, Sasao membuka jendela dan melihat ombak itu.

Suatu hari Sasao berjalan di laut bersama teman-temannya ketika air sedang surut. Ia membawa ember untuk mengambil ikan karang, gurita, kepiting, kerang, dan sebagainya.

Ia berjalan terus sampai ke arah Besialu. Di Besialu rupanya ada beberapa orang yang sedang bermain selancar, termasuk anak-anak Desa Dela.

Sasao termenung, bagaimana ya caranya bisa main selancar?

Tiga hari kemudian, Sasao berjalan-jalan di pantai ketika ia bertemu seorang kakak yang bisa berselancar.

Hai kaka, kemarin aku lihat kamu main selancar di Besialu. Bagaimana sih caranya? Aku mau dong diajari main selancar.

Si kakak senang sekali Sasao mau belajar selancar. Dengan semangat, si kakak langsung membawa Sasao ke ombak depan Hotel Tirosa.

Di sana Sasao diajari cara mendayung, berdiri di atas papan, dan menyeimbangkan diri di atas papan. Sejak hari itu Sasao terus berada di ombak depan Hotel Tirosa. Awalnya ia ditemani si kakak, lama-lama ia belajar sendiri dengan dipinjami papan si kakak.

Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berlalu, Sasao semakin jago main selancar. Ia pun menceritakan hobi barunya ke papa mama, opa oma, dan Malole.

Keluarga Sasao senang sekali Sasao suka bermain di laut. Tapi mereka juga mewanti-wanti Sasao untuk selalu hati-hati di laut dan respek pada lautan.

Sasao pun mengiyakan.

Ia semakin pandai berselancar dan tumbuh menjadi peselancar Desa Dela yang digemari masyarakat.

Orang-orangan sawah

(Cerita sebelum tidur Lelani)

**

Di suatu desa bernama Sidokarto, tinggal para petani. Ada pak petani, ada bu petani.

Suatu pagi, para petani melihat padi-padi mereka dimakan oleh burung gagak.

Mereka pun berpikir bagaimana caranya mengusir burung gagak. Lalu mereka pun bergotong-royong untuk membuat orang-orangan sawah.

Rambutnya dari rumbia. Matanya dari tomat. Hidungnya dari wortel. Mulutnya dari pisang. Bajunya dari karung. Celananya dari celana bekas.

Setelah tiga hari, jadilah orang-orangan sawah itu. Para petani bergotong-royong membawa orang-orangan sawah itu ke persawahan.

Esok harinya tidak ada burung gagak yang memakan padi-padi.

Semua berjalan baik, sampai suatu hari ada angin besar datang dari barat. Angin itu merubuhkan orang-orangan sawah hingga jatuh ke tanah.

Burung gagak pun kembali memakan padi-padi.

Para petani bingung. Mereka berpikir dan memutuskan untuk membuat orang-orangan sawah baru. Kali ini mereka membuat dua, sepasang laki-laki dan perempuan.

Setelah tujuh hari, jadilah kedua orang-orangan sawah yang baru. Dibuat dari bahan-bahan yang lebih kokoh.

Mereka pun membawa sepasang orang-orangan sawah ke persawahan. Satu ditaruh di sisi utara, satu di sisi selatan.

Esok paginya, burung gagak tak lagi datang ke sawah. Dan ketika ada angin besar datang, kedua orang-orangan sawah tetap berdiri dengan gagah.

Para petani pun senang. Mereka bisa memanen padi-padi. Hasil tani mereka pun dijual hingga ke pasar.

Beras di pasar pun dibeli oleh mama.

Mama memasak beras menjadi nasi. Nasi dimakan oleh Lelani.

Not-knowing

It was a vibrant discussion in the room. Finally (more) people talk.

Yunzhen talked about over-interpretation in qualitative research. During her talk, she discussed about the limit of interpretation and the possibility of the uninterpretable.

What a poetic word: uninterpretable.

It resonates well with my research, where I have encountered, made aware, and started thinking about the notion of not-knowing (the simple ‘I don’t know’). Such notion not only indicate the limit of knowing—and thus always-knowing research(er)—but also resists the arrogance of academic research, which seems/claims to be able to always know/understand things. It is not.

Not-knowing is the potential epistemic stance, too, as Marisol de la Cadena argued.

To say that ‘I don’t know’ and ‘I will never know’ about certain things in my research is, in itself, almost a manifesto of rebellion in the knowledge-making institution of university.

Not-knowing offers a possibility of living at the edge of academic research, forever reminding us that some things are not meant to be known. Uninterpretable.

Yang Tersisa dari Malam Dingin di Forsyth Barr

“The best footballers in the world are coming to Dunedin. Most Aucklanders don’t even make it this far south.”

Gegap gempita Piala Dunia memenuhi halaman-halaman koran lokal sejak Juni.

Berita tentang persiapan Dunedin menghelat enam laga Piala Dunia Wanita 2023 dilaporkan. Tiga lapangan bola diperbaiki, dan kemudian ditutup untuk umum, karena dijadikan tempat latihan timnas Swiss, yang bermukim di Dunedin selama gelaran, dan tim-tim ‘tamu’ yang dijadwalkan tanding di Stadion Forsyth Barr, stadion beratap permanen—mungkin untuk menolong iklim Dunedin yang agak kurang ajar bagi manusia-manusia yang datang dari tempat hangat.

Cerita tentang Football Ferns—timnas sepakbola wanita Selandia Baru—juga dibahas cukup intens. Mereka sudah lima kali ikut Piala Dunia—pertama kali pada 1991 di Tiongkok—tapi belum pernah sekali pun menang. Main di rumah sendiri, Football Ferns dipercaya bisa memutus tabu itu, ditambah doa yang agak lebih panjang berjudul ‘lolos ke 16 besar’. Benar saja, di laga pembuka, Selandia Baru mengalahkan Norwegia—dan Ada Hegerberg—dengan skor tipis 1-0. Saat peluit akhir dibunyikan, pemain cadangan dan ofisial Football Ferns langsung lari kegirangan memasuki lapangan dan berpelukan dengan teman-temannya. Seperti sudah juara.

Koran gratis yang masuk ke kotak-kotak pos warga tiap Kamis, The Star, sejak awal Juni selalu dibubuhi seperempat halaman iklan tentang Piala Dunia Wanita 2023. Sepertinya untuk memantik antusiasme warga agar datang ke stadion dan memeriahkan pesta bola. Dunedin mengusung tema ‘The best in the world, at the bottom of the world’ dalam hajatan besar ini. Iklan-iklan itu tak menjual apa-apa, kecuali ‘yuk nonton sepakbola’ di negeri yang kadung memeluk rugby sebagai agama. Kutipan di awal tulisan yang membawa-bawa orang Auckland adalah salah satu tajuknya. Ada juga yang bertuliskan ‘The world’s stage. Turns out it’s in Dunedin’.

***

Dari jendela besar di lantai 8 Otago Business School, Stadion Forsyth Barr terlihat dengan gagah. Logo Piala Dunia sudah muncul di sana, ketika saya kembali ke kampus, awal Juni lalu. Stadion itu adalah salah satu hal yang mencuri perhatian saya ketika pertama kali menyambangi Department of Tourism, tempat saya studi doktoral (yang entah ada gunanya atau tidak). Departemen kami ada di lantai 8 dan 9. Saat berdiri di sana, pada suatu siang musim dingin yang lain, Juli 2022, saya pertama-tama bersyukur karena bisa melihat laut—Semenanjung Otago—dari sana. Lalu, saya lebih bahagia lagi karena bisa melihat stadion dari jendela besar yang memisahkan ruangan kantor dan udara jahanam musim dingin di luar. Jarak stadion dengan OBS kira-kira 700 meter.

Jarak itu yang kemarin saya tempuh dengan berjalan kaki, bersama beberapa kawan, untuk menonton pertandingan Piala Dunia pertama di Dunedin: Filipina vs Swiss. Di bus, dalam perjalanan dari rumah ke kampus, saya lihat beberapa suporter Filipina berjalan kaki ke stadion, dengan atribut lengkap untuk mendukung Filipinas. Saat kami keluar kampus, bus tingkat dua (double-decker) lewat di depan muka kami, membawa calon penonton bola dari Octagon, pusat kota. Bus itu terjebak kemacetan kecil yang tak biasanya terjadi di jalanan kota kecil kami.

Gegap gempita Piala Dunia kian terasa dalam 700 meter itu. Gairah itu muncul lagi di dada saya; gairah yang sama saya rasakan tiap kali hendak beranjak menuju pertandingan bola. Rasanya jadi kangen Gelora Bung Karno saat timnas tanding, tempat dan situasi di mana gairah manusia Indonesia paling murni bisa ditemukan. Dalam jarak 700 meter itu saya menjadi anak kecil lagi. Di sekitar saya, orang-orang juga tampak gembira di sore musim dingin yang cerah—meski tetap dingin—itu. Beberapa memakai baju bola (dan tentu saja rugby), ada juga yang dandan aneh-aneh. Tapi kebanyakan ya biasa-biasa saja. Namanya juga Dunedin.

***

Kami mengantre untuk masuk stadion. Tentu saja antrean di Forsyth Barr tak seheboh antrean di GBK, atau di Amsterdam Arena jelang De Klassieker, atau di Allianz Stadium versus Inter dan Torino. Sepakbola di sini cuma hura-hura, semacam perayaan. Orang-orang masuk ke stadion dengan riang. Tak ada muka-muka serius sambil harap-harap cemas. Tak ada raut wajah yang deg-degan. Ketakutan akan hasil akhir tak ada di sini. Tak ada orang yang berdoa sebelum laga dimulai—seperti seorang bapak di Do Dragao, musim semi 2017. Sepak bola bukan rugby, jadi untuk apa terlalu serius. Lagi pula ini Piala Dunia, sebuah pesta, tak berdampak apa-apa bagi hidup kita yang kadung ringsek dihajar harga-harga kebutuhan pokok yang terus melonjak di supermarket.

Saya duduk di tribun belakang gawang, deretan kursi A, alias paling depan. Di depan saya tak ada kursi lagi, kecuali kursi steward, yang duduk membelakangi lapangan, dan selama 90 menit awas mengantisipasi kemunculan streaker, ciri khas lain Forsyth Barr, yaitu penonton yang masuk ke dalam lapangan sambil telanjang bulat—biasanya muncul di pertandingan rugby. Di depan saya adalah pagar pembatas, kira-kira setinggi pinggang. Di sebelah saya, dua orang pria dengan pakaian yang kurang pas untuk musim dingin—mereka menggigil sepanjang 90 menit.

Tapi setidaknya mereka terhibur. Keduanya mengobrol sepanjang laga, mengomentari yang ada di lapangan dan luar lapangan, dan yang ada di layar besar di hadapan kami. Kebanyakan obrolan mereka tidak penting-penting amat, dan sebagian lain seksis. Seperti ketika kamera menyorot kapten Swiss, Lia Wälti, di lorong sebelum masuk lapangan. “Ow oh, kinda hot,” kata sebelah saya. Di momen lain, saat Alisha Lehmann siap-siap masuk lapangan sebagai pemain pengganti, komentar lain yang tak kalah nyeleneh muncul. Tak perlu saya kutip di sini.

Di lapangan, pertandingan berlangsung khidmat di babak pertama. Jual beli serangan terjadi. Filipina agresif di beberapa momen. Mereka sempat mencetak gol, tapi dianulir VAR. Swiss menutup babak pertama lewat gol penalti—setelah tinjauan ulang VAR oleh wasit. Di babak kedua, pertandingan lebih khidmat lagi—alias bikin ngantuk. Swiss tampak lebih percaya diri dan bisa menggandakan skor di tengah babak. Filipina baru agresif di 10 menit akhir. Tadinya saya mau keluar stadion pada menit 85, menghindari antrean keluar, tapi duduk manis sampai menit 90 karena berharap Filipina bisa mencetak satu gol dan membuat laga hidup kembali.

Gara-gara 5 menit itulah saya jadi ketinggalan bus nomor 8. Mau tak mau mesti jalan kaki. Di jalanan sepanjang George Street, gegap gempita Piala Dunia tak terasa. Sepi. Seperti malam-malam Dunedin pada umumnya. Kemeriahan itu dilokalisir di Forsyth Barr saja. Entah apakah Filipina mencetak gol di waktu tambahan. Saya tak terlalu ambil pusing. Juga ratusan ribu orang lain di sini. Lagi pula ini cuma sepakbola, dan Piala Dunia, tak berpengaruh apa-apa di sini.

Dua minggu lagi, All Blacks akan bertanding melawan Wallabies Australia di Dunedin. Di situlah kemeriahan yang sebenarnya akan terjadi.

(Opoho, 22 Juli 2023)

Lelani

Lelani sedang tidur di sebelah mamanya.

Entah apa yang ia mimpikan,

atau lihat,

atau tangisi ketika terbangun.

Wajahnya menyiratkan banyak hal sekaligus,

yang tak perlu paralel satu sama lain.

Ia tampak nyenyak,

tapi nyenyak itu menyiratkan malam panjang yang menjelang.

Kita akan begadang lagi, sayang!

(1 Maret 2022)